Kamis, 13 November 2008

lahan bekas penambangan timah


Gambar 5. Lahan reklamasi bekas tambang timah, ditambang oleh PETI, tidak direklamasi kembali, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006).

tailing tambang timah


Gambar 10. Tailing tambang timah yang telah direklamasi, kembali ditambang oleh masyarakat, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006).

beLiTunG IsLanD

BelitungIsland.COM
belitung sudah tidak ada kehidupan
BUKA MATA
Tapi lihat lebih dalam dan kedalam agik kalok perlu. turun kelapangan. Hari inihasil dari pendapatan bisa makan ayam, bisa beli mobil, bisa punye mutor 2sampai 3 ikot, 10 tahun 20 tahun yang akan datang jika alam endak bagus agiktampa ada pemikiran kritis dari kita GENERASI YANG AKAN DATANG AKAN MAKANSISA-SISA DARI PERTAMBANGAN. atau masak Bodoh itu urusan belakangan yang pentinghari ini bisa berleha-leha.Satu Contoh saat ini, dampak dari pencemaran galian adalah PAM Perusahaan AirMinum TanjungPandan Yang mengambil air dan Kawasan AIR SEREKUK tidak bisadigunakan lagi Air sudah tercemar oleh limbah galian, siapa yang rugi.Masyarakat kota Tanjongpandan juak, dan Pam Juga menderita kerugianintstalasinya. akankah kita tutup mata...?Jika mau menengok ke Belakang agik, Belitong maju ade perusahaan timah,masyarakat telah dimanjakan dengan pasilitas Timah Bertahun-tahun Bekerje Di PTTimah akhirnya Menjadi Mental Pekerje alias Buruh. ketika Timah Tidak Beroperasilagi. maka Pemda tidak Mempersiapkan sektor Transisi pendapatan masyarakat,Parawisata tidak Jalan perkebunan kelapa sawait Baru merintis. akhirnya Alamlahyang jadi andalan masyarakat, Pabrik Kaolin satu-satunya yang ideal buat merekabekerja, PT Keramik Tutup. kemudian mental menjadi petani tidak mungkin, initerbukti mereka lebih minat timah apalagi banyaknya pemodal yang mau memberikanmodal kepada mereka dengan bagi hasil. yang kemudian dijual kepasar Gelap. yangselisih harga cuman 500 perak dari PT Timah yang mau beli. itupun tidak bayarpajak atau royalty ke Pemda.Jika melihat sejarah lagi Kota Tanjungpandan, Manggar Gantung terbentuk lantaranTimah yang dulu Jaman Belanda lebih dikenal dengan Distrik. Juga kita harusSadar pekerja Tambang pertama kali Disungai siburik Tanjungpandan adalahMasyarakat China Daratan, yang selalu dikenal dengan istilah panggilanSancin...ini pangilan yang rendah sekali .tapi mereka pintar tentang mekanik danjuga banyak ilmu bangunan mereka pekerja ulet dan kemudian berhasil sebagaipedagang . sedikit sekali warga pribumi yang bergaul dan mau bekerja di paritpada waktu itu almarhum Kakekku orang pribumi bergaul dengan mereka, akhirnyadibilang Yusuf Sancin, tapi dibalik itu ilmu yang didapat kakekku sangatlahbermamfaat beliau adalah Seniman bangunan, juga seorangan mekanik yang handal.Beliau tidak membedakan suku atau eknis dimata Tuhan sama, inilah yang membuatkubahwa eknis china maupun melayu akan ada keseimbangan jika mau kerja sama, untukkearah yang lebih baik. tidak hanya itu aura kejayaan timah juga mengundangsuku-suku lain, baik Jawa Kalimantan Sumatra untuk mengadu hidup di PulauBelitung. dan mereka berhasil dalam penghidupan. yang penting saat ini siapayang berbuat curang baik melayu atau china Serat saja ke Pengadilan.Generasiku Hengkang dari Pulau Belitung Mencari penghidupan dipinggiran JakartaSebagai Pekerja Pabrik...Baik Perempuan atau laki-laki termasuk diriku 2 tahunmenjadi buruh pabrik, yang penting asal Kelurage di Pulau Belitong Bisa mentanaknasik didapor. Jika Urang tuenya banyak duit Bisa sekolah tinggi, tapi ituberape persenlah, yang banyaknye ngangor di Pulau Belitong.... Juga MasukanUntuk Petinggi BELTIM, saat ini Beltim Mempunyai SDM yang banyak untuk TenagaOperator Pabrik baik Perepuan ataupun laki-laki, Juga mempunyai tenaga MekanikYang handal di Pabrik, Jika ada Investor yang mau menanamkan modal di Beltimmendirikan Pabrik SDM sudah siap Pakai, ini perlu dipikirkan karena menurutmereka Di Beltim serharusnya punya perusahaan padat karya. tidak hanya bahanmentah galian saja yang dijual keluar, minimal produksi setengah jadi itu sudahlumayan.... Jika kendala Pelabuhan sebagai penghalang. ini yang harusdipreoritaskan pembangunan. Bukan Hotel Ataupun Mall.Akankah generasi dibawahku kembali, mengais Rezeki dari sisa-sisa pertambangan,atau hengkang lagi keluar Pulau Belitung karena tak ada kehidupan, Bekemas kanalat mancing Terumbu karang telah hancur tempat besarang ikan, Pohon bakau tepatbesarang udang dan ketam hilang, sungai untuk Bebanjor ikan kelik linggang tidakada lagi Buayapun susah untuk bernapas di sungai cerucok yang penuh denganlumpur dan limbah tambang. tanah atau kebun sudah beruba menjadi kolong-kolongdan perlu puluhan tahun agar bisa ditanamin lagi.Pemerintahan Belitung perlu cermat untuk transisi penhidupan ini. KITA TAHUPERMUKAAN TANAH DIBELITONG SEMUENYE TAMBANG YANG BAGUS. 30 tahun yang laluadalah hasil sekarang Generasiku yang menikmatinya. dari sisa-sisa tidakbijaknya syestem pemerintahannya mengelolah daerahnya.Akankah 10, Tahun, 20, Tahun, 30 Tahun ....Lebih Parah lagi.Mulailah RAPATKAN BARISAN AWASI JALAN PEMERINTAHAN, SELAMATKAN ALAM BELITUNG .Dan BANGUN PULAU NAN ELOK INI.KAMPANYE LINGKUNGAN HIDUP ADALAH SALAH SATU WUJUD MENGAWASI JALANNYAPEMERINTAHAN.

keRuSaKan HuTan PaSca PenaMbaNgaN TiMah

Lingkungan Hidup
REALITA DEGRADASI AREA HUTAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA
Oleh : Agus Suprihatin Utomo 27-Okt-2008, 09:33:40 WIB - [www.kabarindonesia.com]
LOMBA TULIS YPHL REALITA DEGRADASI AREA HUTAN PASCA PENAMBANGAN TIMAH DI PULAU BANGKA
Oleh: AGUS SUPRIHATIN UTOMO Mahasiswa Program Studi Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Bumi “Laskar Pelangi Bergema”: Salah Satu Daftar Pulau Terkaya Potensi SDA di Indonesia Negeri Laskar Pelangi Bergema (Propinsi Kepulauan Bangka Belitung), selain terkenal sebagai daerah yang kaya akan potensi keindahan pariwisata dan kekayaan SDA lautnya, seakan tak habis membuat wajah bumi Serumpun Sebalai (nama lain dari propinsi ini) menjadi lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia hingga mancanegara dikarenakan potensi SDA mineral bijih timah yang diproduksi, semakin melimpah ruah dan berkontribusi besar dalam penyokong investasi pendapatan daerah dan nasional. Hampir di seluruh wilayah laut dan daratnya diminati oleh para masyarakat dan investor untuk dijadikan sebagai lokalisasi bisnis dan perdagangan SDA Bangka yang meliputi tatanan ekosistem darat dan laut-nya. Seakan kian hari, semakin menambah deretan “area tambang emas” dari daftar pulau-pulau kaya di Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Namun, dewasa ini aktifitas penambangan timah makin marak dilakukan, terutama di pulau Bangka yang dilakukan oleh pelaku tambang (masyarakat) secara liar. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat semakin dibukanya kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat Bangka dalam mengeksploitasi SDA: timah ini secara bebas oleh masyarakat dengan tujuan kemakmuran bersama (Perda No. 6 Tahun 2001), hal ini pun ternyata tidak membuat surut bagi masyarakat untuk melakukan pengadaan bisnis penambangan menjadi kuantitas yang lebih besar untuk mendapatkan kualitas SDA: timah yang lebih menantang. Terbukti dengan semakin maraknya kegiatan pertambangan rakyat yang sifatnya illegal sekalipun (masyarakat Bangka umumnya menyebut Tambang Inkonvensional/ TI), dimana dalam hal ini obyek penambangannya hampir mencakup ke segala aspek ekosistem alam (darat dan laut) Bangka terutama di dalam ruang lingkup kerja wilayah hutan konservasi yang menjadi sasaran amukan emosi warga Bangka dalam upaya melangsungkan kehidupan. Membuat area hutan di pulau Bangka semakin terancam keberadaannya. Terlepas dari permasalahan global pembalakan liar hutan Bangka yang turut menambah daftar hitam terpuruknya kelestarian hutan di Prop. Kep. Bangka Belitung yang juga meliputi wilayah hutan darat dan mangrove. Keadaan Geografis yang Strategis: Kebijakan & Peraturan Pemerintah vs “Emosi Setan” Masyarakat yang Kian Tamak Didukung dengan keadaan geografis yang strategis dan terletak di zamrud khatulistiwa, 1º50' - 3º10' LS dan 105º - 108º BT, dengan kepadatan penduduk mencapai lebih dari 1 juta jiwa, propinsi ini telah membuat masyarakatnya menjadi semakin tamak untuk memperkaya diri secara finansial dengan berbagai tindakan pengeksploitasian tambang timah, terutama di pulau Bangka untuk membuka lahan TI – TI ini, dalam kuantitas skala besar. Hanya bermodalkan 10 hingga 15 juta tiap proyeknya guna penyewaan mesin ekskavator beserta instrument pendukung lainnya, masyarakat dengan mudah dalam hitungan jam dapat mengobrak-abrik daerah yang berpotensi banyak mineral timah dengan seenaknya secara metoda open pit-random minning (pembukaan lahan secara acak tanpa upaya reklamasi). Dalam upaya menghadapi persoalan yang terjadi, pemerintah daerah Prop. Kep. Bangka Belitung tidak dapat berbuat banyak karena kebijakan dalam pengelolaan pertambangan timah masih merupakan kewenangan pemerintah pusat dengan mengacu pada UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan Umum.Tanpa memperhatikan dan berlandaskan wawasan lingkungan, masyarakat Bangka pun menjadi “kerasukan setan” dalam membuka lahan tambang tanpa kuasa penambangan (KP) yang legal sesuai UU yang telah ditetapkan oleh Pemda Propinsi Kep. Bangka Belitung guna mempertegas definisi pertambangan rakyat secara legal serta beberapa ketentuan kebijakan preventif dalam upaya reklamasi lahan pasca penambangan yang salah satunya tercantum dalam kebijakan pertambangan No. 6 Tahun 2001 tentang pengelolaan pertambangan umum. Hal inilah menjadi motif amukan emosi warga yang semakin tak terkendali mengingat sistem ekonomi yang semakin menyulitkan diri. Dengan tujuan pembukaan lahan penambangan, para pelaku TI inipun dengan seenaknya membongkar area hutan (hutan fungsi khusus, hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi/ reklamasi eks tambang timah hingga hutan magrove) sebagai sasarannya dengan cara membabatnya, membakarnya, kemudian menggunduli area tersebut guna kepentingan eksploitasi dan kepuasan sesaat. Kontroversi dan Warisan Industri Pasca Pertambangan Timah Bangka Belitung Aktivitas TI marak terjadi sejak tahun 2000-an. Awalnya dipicu jatuhnya harga timah di pasar dunia. Potensi galian tambang timah darat dianggap tak ekonomis kalau dikerjakan oleh PT Timah sendiri, karena itu kemudian diserahkan kepada kontraktor lokal (tambang karya/ TK).Namun, kebijakan PT Timah menerapkan target produksi dengan sistem pembelian ditambah bonus produksi memicu TK mengejar bonus dengan menampung hasil galian liar. Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/ 4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil yang saat ini berimbas kepada persoalan aktifitas TI yang kian menjamur. Data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2001 memperlihatkan, dari sekitar 70.000-an unit tambang rakyat, yang berizin hanya sekitar 30 persen. Tanpa pengawasan dan pembinaan, TI menjamur dan beroperasi di mana-mana. Yang digunakan tak lagi alat-alat tradisional, tetapi juga peralatan modern seperti eskavator. Selain itu, sektor-sektor ekonomi lain di Babel mati atau telantar karena masyarakat beralih ke sektor penambangan, dan lahan pertanian, perkebunan bahkan juga perikanan beralih fungsi jadi areal penambangan. Dari aspek ekologis, TI menjadi penyumbang terbesar kerusakan lahan dan hutan yang mencapai 150.000 hektar (data tahun 2006) atau 30 persen luas wilayah hutan Bangka Belitung (Babel). Galian timah telah mencemari 15 sungai, 10 di antaranya berada di Pulau Bangka. Pencemaran terus meningkat. Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, 10 tahun lalu terdapat 887 kolong, 789 di antaranya digunakan untuk MCK oleh warga masyarakat. Pada tahun 2006, 11,5 persen dari jumlah penderita malaria secara nasional berada di wilayah itu. Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam tambang (Acid Mine Drainage), dan Tailing. Lubang Tambang. Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya. Air Asam Tambang. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya. Tailing. Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan. Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami. Bayangkan! Masalah Inti: Hutan!Hutan Menjadi Korban, Alam pun Mengamuk! Masalah Sosio-Ekologi Bermunculan! Sektor pertambangan memang tidak terlepas dari tatanan ekosistem lingkungan hutan yang menjadi sasaran amukan. Bukti penunjukan total area kawasan hutan wilayah ± 657.510 hektar (KepMenHut Nomor : SK.357/Menhut-II/2004) untuk daerah Babel ini terancam mengalami penyusutan total area, mengingat 887 kolong atau lubang bekas tambang timah di Bangka Belitung, yang dibiarkan begitu saja, membuat alam Bangka Belitung semakin memprihatinkan. Bappedalda Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, menyatakan kerusakan hutan akibat kegiatan penambangan timah di seluruh wilayah Babel mencapai 400 ribu hektar atau 60 persen dari total luas hutan (data tahun 2007). Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Wilayah Belinyu, Kabupaten Bangka Induk, yang menjadi saksi bisu kebiadaban para pelaku tambang liar pengeksploitasi area hutan di wilayah daratan yang kemudian disusul oleh Kayu Arang, Kelapa, Bangka Barat dan muara sungai Kurau, Koba, Bangka Tengah, serta daerah aliran sungai (DAS) Perimping, Riau Silip, Bangka, yang juga menjadi saksi terhadap pembabatan hutan magrove akibat dampak pembukan lahan penambangan TI di wilayah pantai, merupakan segelintir dari ribuan daerah yang wilayah hutannya menjadi sasaran dari kegiatan eksploitasi liar ini. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Bangka Belitung, luas hutan mangrove yang rusak akibat penambangan dan penebangan liar sekitar 36.000 hektar dari total 120.000 hektar hutan mangrove. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai. Sebagai contoh nyata, lumpur-lumpur tanah dari TI dan TR telah membuat hampir seluruh aliran sungai di wilayah Kecamatan Belinyu menjadi berwarna coklat muda dan keruh. Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan sedikit demi sedikit timah. Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi. Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau Bangka cukup tinggi. Saat ini, kegiatan tambang inkonvensional bukan hanya terjadi pada lahan-lahan baru, namun lahan-lahan lama yang dulu dikelola PT Timah pun, kini digarap lagi. Padahal, lahan tersebut sedang dalam proses reklamasi yang ditandai dengan penanaman tanaman mudah tumbuh. Maraknya tambang rakyat itu tidak lepas dari keyakinan masih banyaknya cadangan timah, baik di lahan baru maupun di lahan yang sudah direklamasi. Banyak kebun lada yang berubah menjadi ladang timah. Hal ini dikarenakan untuk menunggu panen lada dalam beberapa tahun, mereka hanya bisa menghasilkan Rp 39.000 per kg, sedangkan timah, hasilnya lebih baik karena harganya bisa mencapai Rp 95.000 per kg. Babak baru dari masalah sosial bagi propinsi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tertanggal 4 Desember 2000, yang kemudian disahkan pada tanggal 9 Februari 2002 ini pun bermunculan akibat aktifitas penambangan timah ini. Akibat tatanan ekosistem terutama kehutanan yang semakin dibuat berantakan, membuat stabilitas ekosistem dari komponen-komponennya menjadi saling berinteraksi, penyakit kulit akibat polutan logam berat residu penambangan, infeksi saluran pernafasan atas, penyakit malaria yang semakin mewabah, kesulitan konservasi air bersih permukaan maupun bawah tanah akibat polutan air asam tambang, efek rumah kaca, degradasi kualitas fungsi tanah, polusi dan abrasi pantai akibat eksploitasi hutan magrove sebagai dampak pertambangan timah di wilayah pantai/ laut, dan masalah ekologi-sosial lainnya pun menjadi kesulitan pemerintah daerah dalah menentukan kebijakan lanjut kepada masyarakat Bangka Belitung. Pertambangan Timah Bangka dan Kebijakannya: Diskusi Klasik – Win-win Solution! Mengejutkan! Berdasarkan informasi yang diterima dalam situs Metrotvnews.com, mengabarkan bahwasanya di wilayah Bangka Tengah yang notabene merupakan wilayah Eksplorasi dan Eksploitasi Penambangan Timah Legal dibawah pengaruh PT Koba Tin, ternyata aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut yang seyogyanya mengedepankan asas kerja berwawasan lingkungan namun fakta lapangan berbicara sebaliknya, berikut kutipannya: “Metrotvnews.com, Bangka Tengah: Aktivitas PT Koba Tin yang bergerak di bidang pertambangan timah diduga telah merambah ke kawasan hutan lindung di sekitar Pantai Lubuk, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Saat ini kawasan yang digarap perusahaan milik Malaysia tersebut telah meninggalkan kerusakan lingkungan tanpa adanya upaya reklamasi. Lokasi bekas penambangan tersebut jaraknya tidak lebih dari 200 meter dari bibir pantai. Terdapat beberapa danau sedalam 48 meter bekas penambangan. Saat ini juga masih terdapat kapal keruk darat, Merapin milik PT Koba Tin di lokasi penambangan. (Metrotvnews.com, Sabtu, 18 Oktober 2008 22:02 WIB)” Menyedihkan dan memprihatinkan! Berbicara tentang kebijakan pertimahan di Bangka Belitung bukanlah persoalan baru, melainkan persoalan lama yang selalu menjadi pekerjaan rumah yang besar teruntuk Pemda Babel beserta masyarakat Babel khususnya yang masih memiliki rasa tanggung-jawab terhadap permasalahan sosial yang kian menyebar ke segala sektor kehidupan di kep. Bangka Belitung. Hanya saja, pada dekade ini secara intents dan aktual dibicarakan oleh berbagai kalangan dan seluruh lapisan masyarakat baik di perguruan tinggi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, NGO, dan organisasi lain yang berkepentingan dengan rumusan acara yang beragam berupa seminar, semiloka, diskusi, pertemuan dan kegiatan lain dalam rangka membahas kebijakan yang efektif, akuntabel, berkeadilan dan berkelanjutan tentang pengelolaan bahan tambang yang pernah menyandang predikat golongan A (bahan galian strategis) pada masa sebelum era otonomi daerah dan masalah ekologi yang ditimbulkan setelahnya. Tambang Inkonvensional (TI) dewasa ini memang salah satu persoalan krusial yang mendilema. Kondisi tersebut memang sulit dihindari karena persis ibarat jamur di musim hujan, TI tumbuh di mana-mana. Tidak saja di kaki gunung, di hulu sungai, areal eks tambang timah ataupun di lahan reklamasi, TI gampang ditemukan di sudut rumah penduduk atau pinggir jalan raya. Berbagai teknologi yang bersifat Ekologi Restorasi [Suatu disiplin baru biologi konservasi yang disebut ekologi restorasi (ekologi pemulihan) – Campbell, et all; hal. 431 – menerapkan prinsip ekologi dalam mengembangkan cara-cara untuk mengembalikan ekosistem yang sudah rusak ke kondisi yang semirip mungkin dalam keadaan alamiahnya] telah diterapkan demi mewujudkan dan mengembalikan lahan yang telah mengalami degradasi/ kerusakan dalam hal upaya reklamasi dan revegetasi pada lahan eks tambang, yang mana telah terealisasi dalam salah satu konsep relevansi “Green Babel” (Agenda Kerja Pemprop. Babel bekerjasama dengan LSM Peduli Lingkungan). Komponen utama dari solusi permasalahan inti mengenai pertambangan timah di Bumi Serumpun Sebalai ini hanya satu, yakni kembali ke alam. Wujudkan Bangka yang hijau, mengingat hutan dan fungsinya menjadi landasan fundamental dalam upaya kelangsungan hidup bersama yang lebih lama. Adapun untuk wilayah daratan, beberapa upaya ekologi restorasi terus digalakkan dengan terus berupaya mencanangkan program hutan reklamasi dengan menanam beberapa jenis bibit pohon kelapa, jarak, akasia, mahang, balik angin, leban, seruk, penanga, ubak, salam, waru laut, rengkat, pelangas, dan beberapa varietas tanaman revegatasi dan rehabilitasi pada lahan eks tambang (hasil observasi pribadi). Begitu pula halnya di wilayah pesisir pantai yang terkena imbas aktifitas TI Apung, hingga detik inipun pemerintah berupaya dalam mengembalikan ekosistem mangrove dengan pengadaan bibit ikan kerapu melalui metoda keramba apung pada lahan eks tambang, yang diharapkan apabila stabilitas ekosistem sudah tercipta untuk selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan pengembangan/ pemekaran ekosistem hutan mangrove. Beberapa upaya berbasis teknologi ekologi restorasi lainnya pada lahan eks-tambang yang mengalami degradasi masih terus dikembangkan dan diaplikasikan. Semua hal ini, terencana dan tercipta dengan tujuan agar pembangunan yang berkelanjutan pun tercipta dengan basis win-win solution terhadap aktivitas penambangan yang ditujukan untuk kesejahteraan bersama serta dampak sosio-ekologi (seperti yang dipaparkan sebelumnya) yang ditimbulkan setelahnya dapat terorganisir dengan baik, dan semuanya akan berhasil bila: kepedulian, rasa tanggung jawab, kesadaran, kejelasan terhadap pengawasan kebijakan serta sanksi tegas terhadap peraturan antar individu-individu yang berkepentingan dan terkait dalam pengoptimalisasian potensi Bangka Belitung, saling bekerja-sama. Wujudkan Green Babel untuk Bangka Belitung tercinta! Ironis! Di Konferensi Perubahan Iklim - COP13 di Bali, Indonesia menyampaikan komitmennya menjaga hutan, menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan, guna menekan emisi karbon ke atmosfir. Namun kenyataannya, beberapa pihak tak bertanggung jawab bersama beberapa individu yang berkepentingan bekerja sama dengan pelaku tambang, mereka mengamini pembabatan hutan lindung dan dengan seketika dirubah kawasan tambang. Pada tulisan ini, penulis hanya memaparkan fakta lapangan yang terjadi pada ruang ekosistem kehutanan Indonesia khususnya yang timbul di daerah tempat kelahiran penulis. Disamping, dengan berbagai spekulasi dan kontroversi yang timbul, penulis berusaha menyajikan keterpurukan yang terjadi dalam dunia sosial-budaya masyarakat di bumi Bangka Belitung yang berimbas kepada hal prinsipil penyokong pembangunan yang berkelajutan bagi anak-cucu kita, yakni perihal fungsional area hutan yang dalam hal ini telah mengalami degradasi (penurunan) fungsi baik secara kuantitas maupun kualitas. Semoga ini semua menjadi introspeksi kita bersama bahwasanya hutan itu ternyata penting untuk kita lestarikan. Mari kita samakan persepsi dan ideologi serta merencanakan kebijakan yang terbaik guna keberlangsungan hidup anak-cucu dan generasi mendatang.